Oke, mumpung aku lagi semangat tuk nulis ini itu or to do something new in this beautiful morning... Aku mu berbagi artikel yang aku ketik ulang dari salah satu buku yang pernah aku pakai sebagai referensi bikin tugas Sistem Komunikasi Indonesia di semester 5 kemarin...
Alesan aku suka banget sam artikel ini, ya apalagi klo bukan karena apa yang dijabarkan beliau benar2 sebuah realita hidup kita sekarang ini yang seakan2 diciptakan oleh persepsi media.. Artikel ini juga pernah aku posting di note Facebook.. Tapi mungkin karena kepanjangan, jdi ya cuma jadi pajangan aja, tanpa ada yang ngebaca or kasih komen... Hehehe.. Eh salah aku juga sih, ngeposting artikel yang agak berat ini pas jam 11 malem, itu kan waktunya orang istirahat... Hihihihi
Judul. : Aku Cantik Maka Aku Ada
Penulis : Muzayin Nazarudin
Buku : "Media, Jurnalisme dan Budaya Popular" (2008 : 125-129)
"Di televisi, hanya ada dua wanita: cantik dan cantik sekali," seloroh seorang teman. Jika dicermati, seloroh tersebut ternyata tepat menggambarkan bagaimana konstruk wanita di televisi kita, bahkan konstruk sosial wanita si zaman sekarang.
Wanita-wanita cantik ala televisi itu menjadi inspirasi sekaligus idola bagi kamu hawa di neger ini, terlebih para remaja putri. Tanyalah pada teman atau adik perempuan kita, "siapa idola kalian?" Pasti, merka tak akan menyebut R.A Kartini, Cut Nyak Dien atau Dewi Sartikam remaja muslimah tak lagi mengingat Khadijah, Aisyah, Fatimah atau Ummu Salamahm nama-nama itu sudah usang, terlalu kuno. Mereka punya daftar baru: Marshanda, Dian Sastrowardoyo, Agnes Monica, Alyssa Soebandono, Zaskia Adya Mecca dan sederet nama populer lainnya. So what? Salahkah mengidolakan mereka? Bukan masalah salah atau benar, masalahnya pada kondisi-kondisi di balik pengidoaan tersebut.
Setiap idola membutuhkan media. Pada masa revolusi, medianya adalah revolusi itu sendiri. Soekarno, Hatta, Syahrir, Cut Nyak Dien atau RA. Kartini menjadi idola pada masa itu karena prestasu dan jasa politik mereka. Kita menyebut mereka sebagai 'pahlawan'. Sebagai sebuah teks, pahlawan setidaknya mengandung makna prestasi, idola, sekaligus kultus.
Bagaimana dengan pahlawanipahlawan kita sekarang? Media apa yang mentasbihkan seseorang menjadi pahlawan? Konstruksi kepahlawanan adalah historis, mengikuti 'agama' dari suatu masa historis tertentu. Maka, ketika televisi telah menjadi agama resmi masyarakat perindustri sekarang ini (Gerbner dalam Rakhmat, 1991), pendefinisian pahlawan pun mengikuti konstruksi yang dibangun televisi.
Salah satu konsep penting yang diajarkan televisi adalah: 'pahlawan' wanita pasti cantik. Tidak hanya itu, televisi juga membuat sebuah definisi, cantik adalah: kurus langsing, putih, berambut lurus hitamn modis dan selalu menjaga penampilan, serta rutin melakukan perawatan tubuh agar awet muda.
Ingat dengan slogan "healthy inside fresh outside"? Ingat iklan Pixy UV Withening, Ponds White Detox atau Snow White Hazeline? Layaknya seorang guru, mereka aktif memberitahukan kuliah bahwa cantik itu berkulit putih, tanpa kerut, dan tentu saja segar. Ingat slogan "Forever young"? Ingat iklan Olay Total Effect atau Ponds Age Miracle? Mereka juga guru yang mengajarkan hal baru: kecantikan harus selalu dirawat, jangan sampai terlihat tua. Simak juga iklan shampoo, semuanya menjadikan rambut hitam lurus sebagai model, sekaligus mengkampanyekan bahwa model rambut itulah yang tercantik.
Adakah yang salah dengan definisi kecantikan tersebut? Jawabannya tehas: ya. Pertama, definisi tersebut meniadakan definisi-definisi kecantikan lainnya yang sangat beragam di berbagai wilayah kebudayaan yang berbeda. Dalam budaya Jawa, rambut yang bagus adalah yang ikal "ngandan-ngandan". Eropa zaman pencerahan mencirikan cantik pada kesuburan wanita, karenanya vantik zaman itu identik dengan gemuk, seperti tampak dalam lukisan Monalisa karya Da Vinci. Orang-orang Afrika mengenal konsep cantik, dan pasti bukan berkulit putih, kemana konsep-konsep cantik dari berbagai budaya tersebut? Mereka tidak punya tempat, karena konsep mereka tidak sejalan dengan kepentingan akumulasi modal para produsen produk kecantikan.
Kedua, kampanye kecantikan tersebut secara fundamental menanamkan 'budaya pemujaan tubuh' kepada generasi muda kita. Dalam buadaya ini, dimesi etis atau ukuran baik-buruk adalah tubuh: baik karena tubuhnya cantik, buruk karena tubuhnya tidak cantik. Dengan ukuran itu, Agnes Monica, Marshanda dan sederet artis lainnya menjadi 'baik', menjadi idola lebih karena kecantikan dan daya tarik seksual mereka, bukan karena kemampuan akting, olah voka ataupun prestasi mereka.
Tidak hanya dalam dimensi etis, budaya pemujaan tubuh ini bahkan menelusup hingga dimensi ontologis tentang keberadaan (being) dengan sebuah pesan utama: keberadaan manusia karena tubuhnya. Model being ini mempunyai jargon filsafat tersendiri: "aku cantik maka aku ada".
Dalam sejarah manapun, eksistensi harus ditunjukkan kepada yang lain. Eksistensi seorang penulis karena tulisannya dibaca publik, eksistensi seorang filsuf karena ide-idenya dianut sebuah masyarakat. Maka, dalam zaman kita, untuk 'mengada' seorang perempuan tidak hanya harus cantik, melainkan kecantikannya harus diketahui oleh yang lain. Tegasnya, eksistensi perempuan ketika kecantikannya diakui publik.
Maka, sangat mudah dipahami mengapa kemudian iklan - serta berbagai acara televisi lainnya, semisal sinetron - selalu menampilkan model cantik dengan cara-cara pengambilan gambar yang benar-benar memperlihatkan bagaimana mulus dan putihnya kulit serta langsingnya tubuh si model. Di mata pengiklan, jelas mereka ingin mengatakan bahwa produk mereka bisa mengantarkan para perempuan untuk mencapai puncak kecantikan seperti para model tersebut. Di mata para model dan artis? Mereka sering berdalih, "tuntutan skenario". Namun, sebenarnya bukan hanya itu, lebih mendasar karena eksistensi mereka akan semakin kokoh ketika kecantikan tubuh mereka diakui publik melalui iklan dan sinetron yang mereka bintangi. Bagi mereka yang bukan artis masih bisa menunjukkan eksistensinya dengan gaya berpakaian yang mampu menunjukkan kecantikan tubuhnya.
Dalam model filsafat ini, menjadi tua adalah bencana. Maka, untuk mempertahankan eksistensi, perempuan harus merawat kecantikannya dengan merawat tubuh mereka secara rutin, kalau perlu operasi plastik untuk menangkal bencana ketuaan.
Kampanye eksistensai 'cantik' ini ditopang oleh berbagai alat pemuasnya yang lengkap dalam jejaring kuasa yang saling menopang. Televisi mengkampanyekannya melalui berderet-deret iklan produk kecantikan, sinetron-sinetron remaja yang menampilkan para 'pahlawan' yang cantik, termasuk juga dengan reporter dan pembawa acaranya yang cantik. Iklan-iklan ini kemudian menjadi semacam kekuatan magis yang terus memicu cita rasa kawula muda untuk bertindak dan mengkonsumsi, bukan hanya atas dasar kepuasan diri, namun lebih atas dasar 'nilai' dan 'mitos' tentang diri mereka sendiri yang telah dikonstruksi oleh televisi. Mereka berlomba-lomba mempercantik diri.
Untuk itu, sarana pemenuhnya pun telah siap: pusat kecantikan yang semakin bertebaran semacam Natasha, London Beauty Center, Larissa, atau Golden Beauty. Bagi mereka yang muslimah Karita, Al Fath, atau butik-butik muslimah lainnya menyediakan berbagai sarana untuk tampil cantik.
Televisi mengajarkan kita untuk menjadi cantik, karena dia guru yang baik dan mempunyai relasi yang luas, untuk menjadi cantik seperti yang diajarkan, telah siap segala perangkat pendukungnya. Sungguh, ideologi 'cantik' ini ditopang oleh aktor kuat dalam jejaring kuasa yang hegemobik. Sekali lagi, 'aku cantik maka aku ada', dan itu sangat mungkin
Nah gimana? Sesuai realita banget kan? Televisi eman media nomer wahid yang bisa menciptakan persepsi baru di masyarakat kita yang notabenenya doyan nonton TV daripada membaca n menganalisa... Hohoho..
Thx u.. ^^
No comments:
Post a Comment